budaya nyadran


Di bumisegoro mudik terdiri atas beberapa arus. Arus besar tentu saja tentu saja terjadi dalam rangka menyongsong hari riyaya / lebaran / bada / idul fitri. Arus kedua terjadi pada bulan Syakban, di kalender Jawa disebut Ruwah, bulan terakhir sebelum Ramadhan. Pada bulan Ruwah ini milestone yang menjadi tradisi adalah Nyadran atau disebut juga Ruwahan mengikuti nama bulannya. Seperti yang dilakukan di daerah lain yang masih menjalankan tradisi ini, aktivitas utamanya berupa nyekar, berziarah ke kubur leluhur.

Yang membedakan Nyadran dengan ziarah pada umumnya adalah waktu pelaksanaannya yang telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah tersebut dan pelaksanannya yang kolektif.

Di bumisegoro, pihak yang berwenang menentukan waktu Nyadran adalah mbah kyai, sosok yang paling dituakan dalam masyarakat. Hanya saja, ada kesepakatan tidak tertulis bahwa waktu pelaksanaan Nyadran ini distandarkan, dari tahun ke tahun diupayakan sama. Tiap dusun memilih waktunya sendiri-sendiri, dan di bumisegoro tradisinya tanggal 14 Ruwah. Pemilihan tanggal ini barangkali dirangkaikan dengan nisfu syakban yang dilakukan menginjak malam 15 bulan syakban. Dalam hal ini tiap tahun mbah Kyai berperan untuk mengevaluasi dan memutuskan apakah tahun tersebut tetap dilangsungkan pada tanggal itu atau tidak. Tetapi kalaupun terjadi pergeseran biasanya tidak banyak, umumnya cuma beda sehari.

Sudah lama aku tidak ikut nyadran. Pada nyadran yang terakhir aku ikuti, acaranya terbagi menjadi dua tahap, masing-masing dilakukan secara bersama-sama dalam satu komando mbah kyai. Tahap pertama dimulai sejak sekitar waktu Dluha dengan mengambil setting di kuburan desa yang terdiri dari dua TPU (Kidul Segoro dan Cikalan). Di TPU acaranya adalah bersih-bersih kuburan secara fisik dengan perkakas yang dibawa berupa sapu lidi untuk menyapu dan sabit untuk menyiangi rumput liar. Acara bersih-bersih dan diikuti oleh doa bersama yang dipimpin oleh mbah kyai atau tokoh lain yang setingkat. Dari dua TPU tersebut, kegiatan di TPU utama (Kidul Segoro) biasanya dilakukan pada urutan kedua tetapi dengan intensitas lebih tinggi, tempo yang lebih lama dan nuansanya “lebih semarak”.

Dari kuburan utama, acara beralih pada kenduri di masjid. Sebagaimana kenduri pada umumnya, agendanya adalah berdoa dan makan berkatan. Cara makan berkatan di bumisegoro bisa dibagi ke dalam dua periode. Periode jaman jebot media makannya masih berupa nampan yang terbuat dari anyaman bambu dan dialasi lembaran daun pisang. Satu nampan dikepung beberapa orang sekaligus, dan pada saatnya tiba mereka makan beramai-ramai, masing-masing dengan tangan saja tanpa sendok dari media yang sama. Dalam hal ini nampan berfungsi ganda, sebagai bakul sekaligus piring. Serunya jika suatu nampan dikepung oleh orang-orang yang sama-sama “doyan makan”, yang terjadi adalah makan secara berebutan. Sering terjadi, baik disengaja maupun tidak, tangan ketemu tangan, bukan tangan ketemu makanan. Dalam momen seperti ini, orang akan berusaha mengunyah secepat mungkin, bila perlu tidak usah dikunyah, langsung lheb…. Tentu saja, “keserakahan” seperti ini tidak banyak berlaku bagi kalangan priyayi dan kaum terhormat lainnya.

Pada periode yang lebih belakangan, cara makannya lebih beradab dengan piring dan sendok. Lebih tertib dan lebih sopan, karena inisiatif perubahan ini memang disuarakan oleh kalangan priyayi. Meski bagi sebagian kalangan justru menjadi garing, terkesan biasa, karena masing-masing sudah mendapat satu porsi nasi rames, tidak lebih dan tidak nambah.

Termasuk jaman susah adalah acara kenduri pas masih berstatus anak kos. Rekan-rekan kos punya istilah khusus ghonimah (rampasan perang) untuk menyebut acara panggilan menghadiri acara kenduri. Bagaimana tidak, kenduri di daerah Baranangsiang bogor yang diundang sedikit sekali sementara hidangannya berlimpah. Minuman standar kenduri di bogor yang aku ikuti adalah teh/kopi manis, susu, dan air putih. Yang istimewa hidangan “harus habis”. Awal ikutan kenduri, kami anak kos makan dengan semangat 45. tapi begitu tahu rule of the game-nya cukup makan satu dua sekedarnya saja, bukannya sok jaim, toh nanti akan dibagi habis untuk dibawa pulang. Dengan begitu, pulang-pulang bawa nasi berkat (nasi dus) dan sebungkus snack. lumayan, bisa ngirit uang makan 2x (sekali makan di tempat dan satu nasi dus yang dibawa pulang).Kembali ke nyadran, di bumisegoro mudik untuk nyadran sudah kurang populer setidaknya dalam satu dasawarsa ini. Urbanisasi ke kawasan industri/bisnis yang jauh dari desa dan jumlah cuti yang terbatas berkontribusi menggerus tradisi mudik untuk nyadran. Era sebelumnya mudik masih dimungkinkan karena pergerakan masyarakat dalam mencari sesuap nasi masih dalam jarak yang relatif dekat dan sistem sosial yang waktu itu masih fleksibel, belum terkungkung jerat kapitalis.

0 komentar: