Cerita asal usul Kyai Pradah

Setelah dibawa dan diarak, pusaka berupa alat musik tradisional sebuah gong besar dan empat bendhe yang terbungkus kain putih tersebut dibawa naik ke nDalem Pasiraman. Ndalem itu berupa bangunan tinggi (seperti panggung) yang berada tepat di tengah alun-alun. Di nDalem Pasiraman ini Gong Kyai Pradah dicuci atau dimandikan.



Momen inilah yang ditunggu-tunggu oleh ribuan orang yang ada di bawah panggung nDalem Pasiraman. Tua dan muda, termasuk anak-anak, rela saling berdesakan hanya untuk memperebutkan air, bunga setaman atau apa saja benda bekas untuk mencuci pusaka tersebut.Mereka mempercayai jika barang-barang maupun air tersebut mempunyai tuah, bisa digunakan untuk mengobati penyakit serta membuat awet muda.



Berdasarkan keterangan para sesepuh Lodoyo, zaman dulu wilayah Lodoyo sebagian besar berupa hutan rimba yang banyak dihuni binatang buas. Lantas, atas hukuman dari ayahnya Sri Paku Buwono I dari Kartosuro, datanglah Pangeran Prabu ke Lodoyo.Saat Pangeran Prabu datang, Lodoyo tak hanya berupa hutan lebat tapi juga masih wingit (angker). Pangeran Prabu lantas membawa pusaka kerajaan berupa gong atau bendhe, yang kemudian disebut sebagai Gong Kyai Pradah.Dengan 7 kali memukul gong itu, binatang buas di sana bisa jinak dan keangkeran Lodoyo ditaklukkan. Warga pun bisa hidup tentram.

Dalam pesannya, Kyai Prabu meminta agar gong tersebut selalu dimandikan atau dibersihkan setiap tanggal 12 Rabiul Awal atau di bulan Maulud. Oleh sebab itu Pemkab Blitar selalu melakukan ritual ini untuk menjaga kelestarian budaya itu.

0 komentar: